Oleh :
Ria Maya Sari, S.H.
IBC, JAKARTA – Sektor pertambangan merupakan salah satu faktor utama ekonomi Kaltim. Namun, dibalik kontribusinya terhadap pendapatan daerah, ada bahaya yang terus mengintai.
Kolam eks tambang merupakan contoh nyata dampak yang tidak terhindarkan dari kegiatan eksploitasi tambang batu bara. Ketiadaan upaya reklamasi pasca tambang memperparah kondisi lingkungan, yang tidak hanya menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan warga sekitar area kolam tersebut, tetapi juga telah memakan korban jiwa yang didominasi oleh anak-anak.
Dari data yang diperoleh dari Jatam Kaltim, hingga akhir April 2019 lalu, telah tercatat sebanyak 33 orang yang meninggal akibat kolam eks tambang dan diantaranya terdapat korban anak-anak.
Dalam konteks hukum internasional, hak anak diatur dan dilindungi dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the Child). Pemerintah Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi tersebut melalui Keppres No.36 Tahun 1990 sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam perlindungan dan pemenuhan hak seluruh anak di Indonesia.
Aktivitas pertambangan batu bara bersinggungan dengan hak anak, dimana anak-anak merupakan salah satu pihak yang paling riskan terkena dampak. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari eksploitasi tambang bersinggungan dengan hak anak yg diatur dalam Konvensi PBB, yakni hak anak untuk diprioritaskan kepentingannya (Pasal 3), hak untuk dijamin dan dilindungi hak-haknya (Pasal 4), hak untuk bersuara (Pasal 12); hak atas kesehatan (Pasal 24), hak mendapatkan lingkungan yang sehat berkelanjutan (Pasal 24 ayat (2) butir c), serta hak mendapatkan standar hidup yang layak (Pasal 27).
Selain hak-hak tersebut, hak yang paling mendasar yang terdampak dari korban lubang tambag tersebut adalah hak hidup (the right to life). Hak hidup ini adalah hak yang tidak bisa diganggu gugat (non-derogable right), termasuk di dalamnya mencakup hak anak untuk tumbuh dan berkembang hingga menjadi dewasa.
Dalam hukum internasional, tiap-tiap Negara memiliki kewajiban imperative untuk menjamin dan melindungi hak hidup setiap individu yang ada di dalam teritorialnya, terlepas apakah dia warga negara atau bukan, termasuk mengambil langkah fasilitatif demi terpenuhinya hak tersebut serta menjamin tersedianya ganti rugi efektif (effective remedies) bagi korban. Kewajiban ini juga berlaku dalam kaitannya dengan aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku swasta, baik yang bersinggungan dengan dampak bisnisnya maupun dalam kegiatan operasional bisnis itu sendiri.
Kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia merupakan erga omnes obligation, yakni kewajiban terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan dan memungkinkan semua negara untuk menetapkan hak perlindungan mereka apabila terdapat pelanggaran dari kewajiban erga omnes dimaksud.
Jika dikaitkan dengan hak anak dan aktivitas tambang, Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa kegiatan bisnis tersebut tidak mencederai hak-hak anak; kegiatan bisnis dijalankan dengan tetap memperhatikan hak anak dan memberikan lingkungan yang suportif bagi anak; dan turut memastikan bahwa tersedianya akses yang efektif untuk terpenuhinya ganti rugi bagi korban anak yang hak-haknya dicederai akibat bisnis tersebut.
Selain kewajiban imperative tersebut, negara juga memiliki kewajiban internasional (international obligations), yang mana apabila kewajiban internasional tersebut dilanggar, Negara dapat dimintai tanggung jawabnya, baik atas tindakan maupun kelalaian yang disebabkan oleh Negara itu. Selain itu, apabila Negara tidak memenuhi apa yang disyaratkan dalam kewajiban internasional dari Negara tersebut, maka dapat dikategorikan juga sebagai pelanggaran kewajiban internasional (a breach of an international obligation). Tanggung jawab ini diatur dalam Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA) yang diterbitkan oleh International Law Commission bentukan PBB pada tahun 2001, sebagai sebagai kodifikasi lex lata berkaitan prinsip-prinsip tanggung jawab internasional yang dimiliki oleh Negara.
Dalam ketentuan Pasal 26 ARSIWA tersebut di atas, apabila negara tidak memenuhi kewajiban yang timbul dari peremptory norm (jus cogens)-norma dasar dalam hukum internasional yang diterima dan diakui oleh komunitas internasional
Secara keseluruhan-, maka dapat juga diklasifikan sebagai pelanggaran kewajiban internasional (a breach of an international obligation).
Hak hidup sebagai salah satu norma HAM merupakan non-derogable right yang merefleksikan norma jus cogens tersebut. Sehingga, jika Indonesia melakukan pengabaian kewajiban yang timbul dari jus cogens tersebut, Indonesia dapat dikatakan melakukan internationally wrongful acts dan dapat dibebankan State Responsibility sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam ARSIWA. Hal ini dapat diaplikasikan jika kita menyoal keberadaan negara dalam merespon kematian anak-anak yang tenggelam di kolam bekas tambang tersebut.
Diamnya negara dalam merespon/menindaklanjuti kasus kematian anak di kolam bekas tambang tersebut merupakan pelanggaran kewajiban affirmative untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak yang juga diratifikasi oleh Indonesia.
Atas itu, Indonesia dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran kewajiban internasional yang direfleksikan oleh jus cogens karena telah gagal melindungi hak hidup anak-anak yang menjadi korban.
Penulis merupakan mahasiswi S2 Hukum Internasional Publik di Universiteit Leiden, Belanda. Selain itu, penulis juga bekerja di Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur.
Editor : YES
Berita ini telah tayang di Situs Berita INDONESIA BERITA