Korupsi Berjamaah, Ada Apakah Ini?

KABARSINJAI.COM, Jakarta – Beberapa hari ini media cetak, media online, televisi semuanya memberitakan mengenai anggota DPRD kota Malang yang digelandang oleh KPK, menyisahkan hanya 4 orang dari jumlah total 45 anggota DPRD kota malang. Fenomena ini baru kali ini terjadi di Indonesia, KPK menangkap sebagian besar anggota DPRD,  apakah yang sebenarnya terjadi, sampai begitu banyak anggota DPRD yang ditangkap?

Mari kita mencoba berpikir sedikit ke belakang, seorang calon anggota DPR/DPRD pada awal perekrutan dari partai, kemudian dicalonkan oleh partai ke KPU, setelah itu  mulai dari pemberkasan sampai kepada penetapan daftar calon anggota DPR/DPRD ditangani oleh KPU sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan menentukan calon-calon legislator ini lolos atau tidak.

Setelah penetapan calon anggota DPR/DPRD maka tahap selanjutnya adalah kampanye calon tersebut  ke masyarakat untuk memperkenalkan diri, pada masa ini sang calon memperkenalkan diri ke masyarakat, tetapi pada tahap ini banyak hal yang terjadi di masyarakat, sang calon akan berubah menjadi orang yang sangat peduli kepada masyarakat sehingga banyak kita lihat pembagian sembako kepada masyarakat dari calon tertentu dengan harapan calon tersebut dipilih ataupun adanya bakti sosial untuk memperkenalkan calon tersebut kepada masyarakat, pembagian kaos yang bergambar muka calon tersebut, stiker dan lainnya.

Hal ini tentu membuat ongkos politik seorang calon legislator menjadi sangat-sangat mahal, menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) yang beritanya diterbitkan di republika online, pada tanggal 19 maret 2014, ongkos politik untuk seorang calon anggota DPR sekitar Rp787 juta – Rp1,18 miliar ini untuk penggunaan dana yang optimal, kalau tidak optimal bisa melebihi angka ini, sedangkan untuk calon anggota DPRD sekitar Rp320 – Rp481 juta ini untuk penggunaan dana yang optimal, kalau tidak optimal bisa melebihi angka ini,  hal senada juga dikatakan kompas.com, pada tanggal 7 september 2014, yang membahas berapa uang yang dihabiskan untuk menjadi wakil rakyat.

Sehingga tidak heran sang calon akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut,  dana — dana ini berasal dari kantong pribadi sang calon,  maka sang calon akan menjual ataupun menggadaikan barang yang dimiliki sampai berhutang kepada pihak tertentu.  Setelah pesta demokrasi selesai sering terdegar ada calon yang terganggu pikirannya karena tidak terpilih ataupun ada calon yang sampai  meninggal, ini  adalah efek dari mahalnya biaya politik di negeri kita.

Yang menjadi pertanyaan kenapa ongkos politik menjadi sangat mahal, padahal yang dibutuhkan oleh rakyat adalah calon-calon anggota DPR/DPRD yang berkualitas untuk memimpin mereka sehingga nantinya daerah yang diwakili oleh mereka akan menjadi maju, bukan calon yang jago membagikan sembako, ataupun atribut kampaye kepada masyarakat.

Tampaknya sudah saatnya biaya politik yang mahal perlu dipertimbangkan kembali, rakyat harus pintar ketika ada seorang calon legislator memberikan sesuatu maka rakyat harus berani menolaknya bahkan harus mencoretnya sebagai daftar orang yang akan dipilih, seharusnya seorang calon legislator beradu visi, misi serta solusi yang dapat mereka berikan kepada rakyat yang diwakili, bukan rakyat di berikan sesuatu dengan harapan rakyat akan memilih mereka.

Saatnya bagi kita untuk memulai biaya politik yang lebih murah, dimana harapan ke depannya seorang calon legislator tidak lagi memerlukan biaya yang besar tetapi visi dan misi calon tersebut yang harus besar untuk membangun daerah yang diwakilinya. (Sumber/Kompasiana)

Hadiyanto usman

Dosen dan politikus PSI

Editor / One