Opini: Tiga Respon “Maaf”

Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.

KABARSINJAI – Maaf sebagai sesama manusia adalah suatu keharusan dalam menyelesaikan perkara antar hubungan. Tidak didasarkan ego pribadi berupa kemarahan atau kebencian, namun mendahulukan pandangan Allah. Maka sikap utama yaitu dengan memaafkan.

Terlebih dalam dakwah yang menuntut totalitas dalam kebaikan, baik secara Rahmat maupun ilmu, mengutamakan kebaikan berupa lemah lembut adalah yang utama, termasuk dalam mengahadapi masalah atau sesuatu yang tidak diinginkan, maka maaf adalah segalanya dengan sabar sebagai tamengnya.

Namun sebenarnya Rasul sendiri memiliki musuh sebagaimana para nabi dan orang salih lainnya. Jika nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah Namrud, Musa ‘alaihissalam adalah Fir’aun, sedang Rasul Muhammad sendiri pernah berduel secara langsung dengan Ubay bin Khalaf. Meski bergelar nabi dan Rasul, orang-orang saleh tersebut tidak menjadikan kepentingan diri sebagai standar namun karena Allah lah kebencian dan permusuhan tersebut terdapat.

Lantaran kebencian dan permusuhan semata karena Allah maka hasilnya pun paripurna, kejahatan yang mereka lakukan diabadikan Allah dalam Al-Qur’an Qur’an dan tutur kata yang tidak mengenakkan hingga akhir zaman. Meski terdapat pandangan tentang eksistensi mereka dengan menjadi bagian kisah perjalanan manusia yang diabadikan dalam al-Qur’an, namun tentu bukan untuk sekedar diambil hikmah, namun juga pandangan tentang berpuncaknya kejahatan yang juga menjadi kebencian (murka) dan permusuhan yang luar biasa yang tidak akan pernah dimenangkan selain olehNya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka dari itu penulis merangkum tiga respon utama dari setiap sikap berkaitan dengan perkara hubungan antar sesama manusia.

  1. Membiarkan. Jika bukan karena Rahmat Allah berupa kebaikan dan kelembutannya maka tentu kacau balau tidak tahu aturan serta saling melanggar apa yang menjadi ketetapan. Maka, maaf bukan berarti semata meniadakan hukum atau aturan yang ada, lantaran kezaliman akan ditimbang sekecil apa, maka kesadaran akan Allah dapat menyederhanakan segala. Dengan memaafkan dan mengembalikan segala perkara kepada Allah maka maaf dapat terwujud.
  2. Memaafkan. Sebagai puncak atau kondisi terbaik dari penyelesaian hubungan antar sesama, maaf sebagaimana tersebut pada poin sebelumnya dapat ditempuh dengan mengembalikannya kepada Allah dengan memandang segala sesuatunya adalah dari Allah dan kembalinya juga semata kepadaNya.

Firman Allah: “dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orqng miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Qur’an Surat an-Nuur: 22).

Ada lagi: “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” (Aali Imraan: 134).

Juga dalam Surat as-Syura ayat 37 yang pada ayat sebelumnya disebut termasuk di antara kriteria orang-orang beriman dan kepada Allah mereka bertawakkal, pada ayat ini secara lebih jelas mereka disebut, berikut artinya: “dan juga (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf,”

  1. Berpaling. Secara sederhana adalah memiliki kesamaan dengan poin sebelumnya dengan berlepas diri dan mengembalikannya kepada Allah, sikap berpaling adalah meninggalkan mereka baik secara fisik, perasaan sampai pikiran.

Sebab terdapat golongan yang Allah tidak menginginkan lagi hati mereka kembali bersih lantaran dosa-dosa sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Maa’idah: 41, berikut artinya: “Wahai Rasul (Muhammad)! Janganlah engkau diserahkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang (munafik) yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah) terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah.” Barangsiapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat adzab yang besar” (Qur’an Surat al-Maa’idah: 41).

Namun persoalannya adalah bagaimana jika kebersamaan dengan mereka adalah senantiasa semisal lantaran suatu kegiatan atau acara rutin, atau terjebak pada kondisi di mana mereka adalah orang-orang yang mengganggu dengan secara sengaja mendekat, baik dengan lantaran tertentu atau secara terang-terangan dapat kepada anda untuk mengganggu. Maka pada kondisi ini adalah dapat ditempuh selain sabar dan memaafkan, yaitu dengan memperbanyak kegiatan-kegiatan positif atau kebaikan.

Usaha berbuat kebaikan tersebut dapat bernilai “istabaqol-khairoit” atau berlomba dalam kebaikan atau memanfaatkan kesempatan untuk memperbanyak kebaikan. Langkah dengan senantiasa dalam ranah kebaikan maka kejahatan, permusuhan serta berbagai bentuk perbuatan serupa setan dapat terhindarkan.

Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera dan wartawan di Fokus Berita Nasional